KEADILAN
DAN KESEJAHTERAAN
Keadilan sosial seperti terlihat di
atas, bukan mempersamakan semua anggota masyarakat, melainkan mempersamakan
mereka dalam kesempatan mengukir prestasi.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
keadilan sosial didefinisikan sebagai "kerja sama untuk mewujudkan
masyarakat yang bersatu secara organik, sehingga setiap anggota masyarakat
memiliki kesempatan yang sama dan nyata untuk tumbuh berkembang sesuai
kemampuan masing-masing."
Nah, jika di antara mereka ada yang
tidak dapat meraih prestasi atau memenuhi kebutuhan pokoknya, masyarakat yang
berkeadilan sosial terpanggil untuk membantu mereka agar mereka pun dapat
menikmati kesejahteraan. Keadilan sosial semacam inilah yang akan melahirkan
kesejahteraan sosial.
Bukankah telah dikemukakan pada awal
uraian ini bahwa keadilan akan mengantarkan kita kepada kesejahteraan? Dengan
kata lain, bukti atau anak sah keadilan sosial adalah kesejahteraan sosial.
"Sejahtera" menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia adalah "aman, sentosa dan makmur; selamat
(terlepas) dari segala macam gangguan, kesukaran dan sebagainya." Dengan
demikian kesejahteraan sosial, merupakan keadaan masyarakat yang sejahtera.
Sebagian pakar menyatakan bahwa
kesejahteraan sosial yang didambakan Al-Quran tecermin dari surga yang dihuni
oleh Adam dan istrinya, sesaat sebelum turunnya mereka melaksanakan tugas
kekhalifahan di bumi. Seperti telah diketahui, sebelum Adam dan istrinya diperintahkan
turun ke bumi, mereka terlebih dahulu ditempatkan di surga.
Surga diharapkan menjadi arah
pengabdian Adam dan Hawa, sehingga bayang-bayang surga itu diwujudkannya di
bumi, serta kelak dihuninya secara hakiki di akhirat. Masyarakat yang mewujudkan
bayang-bayang surga itu adalah masyarakat yang berkesejahteraan.
Kesejahteraan surgawi dilukiskan antara lain dalam peringatan Allah kepada Adam:
Hai Adam, sesungguhnya ini (Iblis)
adalah musuh bagimu dan bagi istrimu, maka sekali-kali jangan sampai ia
mengeluarkan kamu berdua dari surga, yang akibatnya engkau akan bersusah payah.
Sesungguhnya engkau tidak akan kelaparan di sini (surga), tidak pula akan
telanjang, dan sesungguhnya engkau tidak akan merasa dahaga maupun kepanasan
(QS Thaha [20]: 117- 119)
Dari ayat ini jelas bahwa pangan,
sandang, den papan yang diistilahkan dengan tidak lapar, dahaga, telanjang, dan
kepanasan semuanya telah terpenuhi di sana. Terpenuhinya kebutuhan ini
merupakan unsur pertama dan utama kesejahteraan sosial.
Dari ayat lain diperoleh informasi
bahwa masyarakat di surga hidup dalam suasana damai, harmonis, tidak terdapat
suatu dosa, dan tidak ada sesuatu yang tidak wajar, serta tiada pengangguran
ataupun sesuatu yang sia-sia:
Mereka tidak mendengar di dalamnya (surga) perkataan sia-sia; tidak pula (terdengar adanya) dosa, tetapi ucapan salam dan salam (sikap damai) (QS Al-Waqi'ah [56]: 25 dan 26).
Mereka tidak mendengar di dalamnya (surga) perkataan sia-sia; tidak pula (terdengar adanya) dosa, tetapi ucapan salam dan salam (sikap damai) (QS Al-Waqi'ah [56]: 25 dan 26).
Mereka hidup bahagia bersama sanak
keluarganya yang beriman (Baca surat Ya Sin [36]: 55-58, dan Al-Thur [52]: 21).
Adam bersama istrinya diharapkan dapat mewujudkan bayang-bayang surga itu di permukaan bumi ini dengan usaha sungguh-sungguh, berpedoman kepada petunjuk-petunjuk Ilahi.
Adam bersama istrinya diharapkan dapat mewujudkan bayang-bayang surga itu di permukaan bumi ini dengan usaha sungguh-sungguh, berpedoman kepada petunjuk-petunjuk Ilahi.
Itulah rumusan kesejahteraan yang
dikemukakan oleh Al-Quran. Rumusan ini dapat mencakup berbagai aspek
kesejahteraan sosial yang pada kenyataannya dapat menyempit atau meluas sesuai
dengan kondisi pribadi, masyarakat, serta perkembangan zaman.
Untuk masa kini, kita dapat berkata
bahwa yang sejahtera adalah yang terhindar dari rasa takut terhadap penindasan,
kelaparan, dahaga, penyakit, kebodohan, masa depan diri, sanak keluarga, bahkan
lingkungan. Sayyid Quthb mengatakan bahwa:
Sistem kesejahteraan sosial yang
diajarkan Islam bukan sekadar bantuan keuangan --apa pun bentuknya. Bantuan
keuangan hanya merupakan satu dari sekian bentuk bantuan yang dianjurkan Islam.
Kesejahteraan sosial dimulai dari
perjuangan mewujudkan dan menumbuhsuburkan aspek-aspek akidah dan etika pada
diri pribadi, karena dari diri pribadi yang seimbang akan lahir masyarakat
seimbang. Masyarakat Islam pertama lahir dari Nabi Muhammad Saw., melalui
kepribadian beliau yang sangat mengagumkan. Pribadi ini melahirkan keluarga
seimbang: Khadijah, Ali bin Abi Thalib, Fathimah Az-Zahra', dan lain-lain.
Kemudian lahir di luar keluarga itu
Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a., dan sebagainya, yang juga membentuk keluarga, dan
demikian seterusnya, sehingga pada akhirnya terbentuklah masyarakat yang
seimbang antara keadilan dan kesejahteraan sosialnya.
Kesejahteraan sosial dimulai dengan
"Islam", yaitu penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah Swt. Tidak
mungkin jiwa akan merasakan ketenangan apabila kepribadian terpecah (split
personality):
Allah membuat perumpamaan seorang
budak yang dimiliki oleh beberapa orang yang berserikat yang dalam
perselisihan, dan seorang budak yang menjadi milik penuh seseorang. Adakah
kedua budak itu sama halnya? Segala puji bagi Allah, tetapi kebanyakan mereka
tidak mengetahui (QS Al-Zumar [39]: 29).
Kesejahteraan sosial dimulai dari
kesadaran bahwa pilihan Allah --apa pun bentuknya, setelah usaha maksimal--
adalah pilihan terbaik, dan selalu mengandung hikmah. Karena itu Allah
memerintahkan kepada manusia berusaha semaksimal mungkin, kemudian berserah
diri kepada-Nya, disertai kesadaran bahwa:
Tiada satu bencana pun yang menimpa
di bumi, dan tidak pula pada dirimu sendiri, melainkan telah tertulis di dalam
kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian
itu mudah bagi Allah. (Kami jelaskan ini) supaya kamu jangan berduka cita
terhadap sesuatu yang luput dari kamu, dan jangan juga terlalu gembira
(melampaui batas) terhadap hal yang diberikannya kepada kamu... (QS Al-Hadid
[57]: 22-23).
Ini dimulai dengan pendidikan
kejiwaan bagi setiap pribadi, keluarga, dan masyarakat, sehingga akhirnya
tercipta hubungan yang serasi di antara semua anggota masyarakat, yang salah
satu cerminannya adalah kesediaan mengulurkan tangan sebelum diminta oleh yang
membutuhkan, atau kesediaan berkorban demi kepentingan orang banyak.
Mereka mengutamakan (orang lain)
atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka membutuhkan (apa yang mereka berikan
itu) (QS Al-Hasyr [59]: 9).
Setiap pribadi bertanggung jawab
untuk mensucikan jiwa dan hartanya, kemudian keluarganya, dengan memberikan
perhatian secukupnya terhadap pendidikan anak-anak dan istrinya, baik dari segi
jasmani maupun ruhani. Tentunya, tanggung jawab ini mengandung konsekuensi
keuangan dan pendidikan.
Dari sini Al-Quran memerintahkan
penyisihan sebagian hasil usaha untuk menghadapi masa depan. Salah satu
penggalan ayat yang diulang-ulang Al-Quran sebagai tanda orang bertakwa adalah,
Dan sebagian dari yang Kami anugerahkan kepada mereka, mereka nafkahkan (QS
Al-Baqarah [2]: 3)
Sebagian lain (yang tidak mereka
nafkahkan itu), mereka gabung, demikian tulis Muhammad Abduh, guna menciptakan
rasa aman menghadapi masa depan, diri, dan keluarga.
Dan hendaklah takut (kepada Allah)
orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak lemah,
yang mereka khawatir terhadap (kesejabteraannya). Oleh sebab itu, hendaklah
mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang
benar (QS Al-Nisa' [4]: 9).
Dari keluarga, kewajiban beralih
kepada seluruh anggota masyarakat, sehingga dikenal adanya kewajiban timbal
balik antara pribadi dan masyarakat, serta masyarakat terhadap pribadi.
Kewajiban tersebut --sebagaimana halnya setiap kewajiban-- melahirkan hak-hak
tertentu yang sifatnya adalah keserasian dan keseimbangan di antara keduanya.
Sekali lagi kewajiban dan hak tersebut tidak terbatas pada bentuk penerimaan
maupun penyerahan harta benda, tetapi mencakup seluruh aspek kehidupan.
Siapa di antara kamu yang melihat
kemunkaran, maka hendaklah ia meluruskannya dengan tangan. Bila tak mampu maka
dengan lidah, dan bila (inipun) ia tak mampu, maka dengan hati dan inilah
selemah-lemahnya iman (Diriwayatkan oleh Muslim).
Demikian sabda Nabi Saw. yang pada
akhirnya melahirkan pesan, bahwa, paling tidak, seorang Muslim harus merasakan
manis atau pahitnya sesuatu yang terjadi di dalam masyarakatnya, bukan bersikap
tak acuh dan tak peduli. Terdapat puluhan ayat dan ratusan hadis yang
menekankan keterikatan iman dengan rasa senasib dan sepenanggungan, di
antaranya:
Tahukah kamu orang yang mendustakan agama? Mereka itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak
menganjurkan memberi pangan kepada
orang miskin (QS Al-Ma'un [107]: 1-3)
Redaksi ayat di atas bukanlah
"tidak memberi makan", melainkan "tidak menganjurkan memberi
pangan". Ini mencerminkan kepedulian. Yang tidak memiliki kemampuan
memberi, minimal harus menganjurkan pemberian itu. Jika ini pun tidak
dilakukannya, sesuai ayat di atas ia termasuk orang yang mendustakan agama dan
hari pembalasan.
Setiap orang berkewajiban bekerja.
Masyarakat atau mereka yang berkemampuan harus membantu menciptakan lapangan
pekerjaan untuk setiap anggotanya yang berpotensi. Karena itulah monopoli
dilarang-Nya. Jangankan di dalam bidang ekonomi, pada tempat duduk pun
diperintahkan agar memberi peluang dan kelapangan:
Hai orang-orang yang beriman,
apabila dikatakan kepada kamu, "Berlapang-lapanglah di dalam
majelis!", maka lapangkanlah. Niscaya Allah memberi kelapangan untuk kamu
(QS Al-Mujadilah [58]: 11).
Setiap insan harus memperoleh
perlindungan jiwa, harta, dan kehormatannya. Jangankan membunuh atau merampas
harta secara tidak sah, mengancam atau mengejek dengan sindiran halus, atau
menggelari dengan sebutan yang tidak senonoh, berprasangka buruk tanpa dasar,
mencari-cari kesalahan, dan sebagainya. Kesemuanya ini terlarang dengan tegas,
karena semua itu dapat menimbulkan rasa takut, tidak aman, maupun kecemasan
yang mengantarkan kepada tidak terciptanya kesejahteraan lahir dan batin yang
didambakan (QS Al-Hujurat [49]: 11-12).
Bantuan keuangan baru boleh
diberikan apabila seseorang ternyata tidak dapat memenuhi kebutuhannya. Ketika
seseorang datang kepada Nabi Saw. mengadukan kemiskinannya, Nabi Saw. tidak
memberinya uang tetapi kapak agar digunakan untuk mengambil dan mengumpulkan
kayu.
Di sisi lain, perlu diingat bahwa
Al-Quran menegaskan perkataan yang baik pada saat menolak, serta memaafkan
tingkah laku yang kurang sopan dari si peminta, akan jauh lebih baik daripada
memberi namun dibarengi sikap dan tingkah laku yang menyakitkan.
Perkataan yang baik dan pemberian
maaf lebih baik daripada sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan
(QS Al-Baqarah [2]: 263).
Demi mewujudkan kesejahteraan
sosial, Al-Quran melarang beberapa praktek yang dapat mengganggu keserasian
hubungan antar anggota masyarakat, seperti larangan riba (QS Al-Baqarah[2]:
275), dan larangan melakukan transaksi bukan atas dasar kerelaan (QS Al-Nisa'
[4]: 29). Di samping itu, ditetapkan bahwa pada harta milik pribadi terdapat
hak orang-orang yang membutuhkan dan harus disalurkan, baik berupa zakat maupun
sedekah (QS Al-Dzariyat [51]: 19).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar