Kamis, 11 Desember 2014

Materi Ke-8 Prinsip-Prinsip dan Kontrak Berbasis Gadai

*      Materi Ke-8
Prinsip-Prinsip dan Kontrak Berbasis Gadai

1.      Pegadaian Konvensional
Pegadaian Konvensional (Umum) adalah suatu  hak yang diperbolehkan seseorang yang mempunyai piutang atas suatu barang bergerak. Barang bergerak tersebut diserahkan kepada orang yang berpiutang oleh seorang yang mempunyai utang atau oleh orang lain atas nama orang yang mempunyai utang, seseorang yang berutang tersebut memberikan kekuasaan kepada orang yang berpiutang untuk menggunakan barang bergerak yang telah diserahkan untuk melunasi utang apabila pihak yang berutang tidak dapat melunasi kewajibannya ada saat jatuh tempo.
Perusahaan umum Pegadaian adalah suatu badan usaha di Indonesia yang secara resmi mempunyai izin untuk  melaksanakan kegiatan lembaga keuangan berupa pembiayaan dalam bentuk penyaluran dana ke masyarakat atas dasar hukum gadai.
Secara umum pengertian usaha gadai adalah kegiatan menjaminkan barang-barang berharga kepada pihak tertentu, guna memperoleh sejumlah uang dan barang yang dijaminkan akan ditebus kembali sesuai dengan perjanjian antara nasabah dengan lembaga gadai.
Dalam pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa usaha gadai memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
1.      Terdapat barang-barang berharga yang digadaikan;
2.      Nilai jumlah pinjaman tergantung nilai barang yang digadaikan;
3.      Barang yang digadaikan dapat ditebus kembali.
2.      Pengertian Pegadaian Syariah (Rahn)
Gadai Syariah (rahn) adalah menahan salah satu harta milik nasabah atau rahin sebagai barang jaminan atau marhun atas hutang/pinjaman atau marhun bih yang diterimannya. Marhun tersebut memiliki nilai ekonomis. Dengan demikian, pihak yang menahan atau penerima gadai atau murtahin memperoleh jaminan untuk dapat mengambil kembali seluruh atas sebagian piutangnya. Menurut A.A. Basyir, Rahn adalah perjanjian menahan sesuatu barang sebagai tanggungan utang, atau menjadikan sesuatu benda bernilai menurut pandangan syara’ sebagai tanggungan marhun bih, sehingga dengan adanya tanggungan utang itu seluruh atau sebagian utang dapat diterima.
Menurut Imam Abu Zakaria Al Ansari, rahn adalah menjadikan benda yang bersifat harta untuk kepercayaan dari suatu marhun bih yang dapat dibayarkan dari harga benda marhun itu apabila marhun bih tidak dibayar. Sedangkan Imam Taqiyyuddin Abu bakar Al Husain mendefinisikan rahn sebagai akad/perjanjian utang-piutang dengan menjadikan marhun sebagai kepercayaan/penguat marhun bih dan murtahin berhak menjual/melelang barang yang digadaikan itu pada saat itu menuntut haknya. Barang yang dapat dijadikan jaminan utang adalah semua barang yang dapat diperjualbelikan, artinya semua barang yang dapat dijual itu dapat digadaikan.
Berdasarkan definisi di atas, disimpulkan bahwa rahn itu merupakan suatu akad utang-piutang dengan menjadikan barang yang memiliki nilai harta menurut pandangan syara’ sebagai jaminan marhun bih, sehingga rahin boleh mengambil marhun bih.
Pinjaman dengan menggadaikan marhun sebagai jaminan marhun bih dalam bentuk rahn itu dibolehkan, dengan ketentuan bahwa murtahin, dalam hal ini Pegadaian Syariah, mempunyai hak menahan marhun semua marhun bih dilunasi. Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik rahin, yang pada prinsipnya tidak boleh dimanfaatkan murtahin, kecuali dengan seizin rahin, tanpa mengurangi nilainya, serta sekedar sebagai pengganti biaya pemeliraharaan dan perawatannya. Biaya pemeliharaan dan perawatan marhun adalah kewajiban rahin, yang tidak boleh ditentukan berdasarkan jumlah marhun bih. Apabila marhun bih telah jatuh tempo, maka murtahin memperingatkan rahin untuk segera melunasi marhun bih, jika tidak melunasi marhun bih, maka marhun dijual terpaksa melalui lelang sesuai syariah dan hasilnya digunakan untuk melunasi marhun bih, biaya pemeliharaan dan penyimpanan marhun yang belum dibayar, serta biaya pelanggan. Kelebihan hasil pelanggan menjadi milik rahin dan kekurangannya menjadi kewajiban rahin.

2.       Landasan Hukum Pegadaian Syariah
Pada dasarnya gadai menurut Islam, hukumnya adalah boleh (jaiz). Seperti yang tercantum, baik dalam Al-Qur’an, Al Sunnah maupun Ijma’.
Pertama, dalil kebolehan gadai, seperti yang tercantum dalam surat Al Qur’an Surat Al-Baqarah, ayat 283 yang berbunyi sebagai berikut:
 “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai), sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercaya itu menunaikan amanatnya (utang) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah SWT.
Kedua, dalil-dalil yang berasal dari hadist Nabi Saw, sebagai berikut:
“Nabi Saw pernah menggadaikan baju besinya kepada orang Yahudi untuk ditukar dengan gandum. Lalu orang Yahudi itu berkata : Sungguh Muhammad ingin membawa lari hartaku’, Rasulullah Saw, kemudian menjawab: Bohong! Sesungguhnya aku orang yang jujur diatas bumi ini dan langit. Jika kamu berikan amanat kepadaku, pasti Aku tunaikan. Pergilah dengan baju besiku menemuinya”.
Dalam hadist yang lain, dari Anas, katanya : “Rasulullah Saw. Telah merungguhakan baju besi beliau kepada seorang Yahudi di Madinah , sewaktu beliau menghutang syair (gandum) dari orang Yahudi itu untuk keluarga beliau” (HR. Ahmad, Bukhari, Nasa’I dan Ibnu Majah).
Dari hadist di atas dapat dipahami bahwa agama Islam tidak membeda-bedakan antara orang muslim dan non-muslim dalam bidang muamalah, maka seorang muslim tetap wajib membayar utangnya sekalipun kepada non-muslim.

3.      Teknik Transaksi
Pegadaian syariah atau dikenal dengan istilah rahn, dalam operasionalnya menggunakan metode Fee Based Income (Biaya yang berdasarkan pendapatan). Sesuai dengan konsep rahn, pada dasarnya pegadaian syariah berjalan di atas dua akad transaksi syariah, yaitu :
1.      Akad Rahn.
Rahn adalah menahan harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya, pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk mengambil kembali seluruh atau sebagian piutngnya. Dengan akad ini, pegadaian menahan barang bergerak sebagai jaminan atas utang nasabah.
2.      Akad Ijarah.
Ijarah adalah akad pemindahan hak guna atas barang dan atau jasa melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barangnya sendiri melelui akad ini dimungkinkan bagi pegadaian untuk menarik sewa atas penyimpanan barang bergerak milik nasabah yang telah melakukan akad.
Melalui akad rahn, nasabah menyerahkan barang bergerak dan kemudian pegadaian menyimpan dan merawatnya ditempat yang telah disediakan. Akibat yang timbul dari proses penyimpanan adalah timbulnya biaya-biaya yang meliputi nilai investasi tempat penyimpanan, biaya perawatan dan kesuluruhan proses kegiatannya. Atas dasar ini dibenarkan bagi pegadaian syariah mengenakan biaya sewa (ijarah) kepada nasabah sesuai jumlah yang disepakati oleh kedua belah pihak.

4. Ketentuan Hukum Pegadaian Syari’ah
Dalam menjalankan pegadaian syari’ah, pegadaian harus memenuhi rukun dan syarat gadai syari’ah.
Rukun rahn tersebut antara lain:
1.      Pihak yang menggadaikan (rahin)
2.      Pihak yang menerima gadai (murtahin)
3.      Barang yang digadaikan (marhun)
4.      Utang/pinjaman (marhun bih)
5.      Sighat (ijab qabul)
Syarat Transaksi Gadai:
a.        Orang yang berakad.
Baik rahin maupun murtahin harus cakap dalam melakukan tindakan hukum, baligh dan berakal sehat serta mampu melakukan akad.
b.      Harta/barang yang dijadikan jaminan (marhun).
Harus berupa harta yang dapat dijual dan nilainya seimbang dengan marhun bih, marhun harus mempunyai nilai dan dapat dimanfaatkan, harus jelas dan spesifik, marhun itu secara sah dimiliki oleh rahin dan merupakan harta yang utuh, tidak bertebaran dalam beberapa tempat.
c.        Utang ( Marhun bih).
Marhun bih harus merupakan hak yang wajib dikembalikan kepada murtahin merupakan barang yang dapat dimanfaatkan dan barang tersebut dapat dihitung jumlahnya.
d.      Shigat.
Shigat tidak boleh terikat dengan syarat tertentu dan dengan masa yang akan datang.
Dari landasan Syariah tersebut maka mekanisme operasional Pegadaian Syariah dapat digambarkan sebagai berikut: Melalui akad rahn, nasabah menyerahkan barang bergerak dan kemudian Pegadaian menyimpan dan merawatnya di tempat yang telah disediakan oleh Pegadaian.
Pegadaian Syariah akan memperoleh keuntungan hanya dari bea sewa tempat yang dipungut bukan tambahan berupa bunga atau sewa modal yang diperhitungkan dari uang pinjaman. Untuk dapat memperoleh layanan dari Pegadaian Syariah, masyarakat hanya cukup menyerahkan harta geraknya (emas, berlian, kendaraan, dll.) untuk dititipkan disertai dengan copy tanda pengenal. Kemudian staf Penaksir akan menentukan nilai taksiran barang bergerak tersebut yang akan dijadikan sebagai patokan perhitungan pengenaan sewa simpanan (jasa simpan) dan plafon uang pinjaman yang dapat diberikan. Taksiran barang ditentukan berdasarkan nilai intrinsik dan harga pasar yang telah ditetapkan oleh Perum Pegadaian. Maksimum uang pinjaman yang dapat diberikan adalah sebesar 90% dari nilai taksiran barang.

5.      Aplikasi Akad Rahn
Sesuai dengan perkembangan dan kemajuan ekonomi, rahn tidak hanya berlaku antar pribadi melainkan juga antar pribadi dan lembaga keuangan seperti bank.
Kontrak rahn dipakai dalam perbankan dalam dua hal berikut:
1.      Produk Pelengkap
Rahn dipakai sebagai produk pelengkap artinya sebagai akad tambahan (jaminan atau collateral) terhadap produk lain seperti dalam pembiayaan bai’al-murabahah. Bank dapat menahan barang sebagai konsekuensi akad tersebut. 
2.      Produk Tersendiri
Akad rahn telah dipakai sebagai alternatif dari pegadaian konvensioanal. Bedanya dengan gadai biasa, dalam rahn nasabah tidak dikenakan bunga tetapi yang dipungut dari nasabah adalah biaya penitipan, pemeliharaan, penjagaan serta biaya penaksiran yang dipungut dan ditetapkan diawal perjanjian. Sedangkan dalam perjanjian gadai biasa, nasabah dibebankan juga bunga pinjaman yang dapat terakumulasi dan berlipat ganda.
Dasar aplikasi Rahn dalam Perbankan:
Gambar 2.1
Skema Akad Rahn
Marhun Bih
(Pembiayaan)
Murtahin
Rahin
(Bank)
(Nasabah)
Marhun
(Jaminan)

Sumber: Burhanuddin Susanto (2008:279)

6.      Perbedaan Rahn dengan Gadai (pricing dalam qardh)

Pegadaian syariah tidak menekankan pada pemberian bunga dari barang yang digadaikan. Meski tanpa bunga, pegadaian syariah tetap memperoleh keuntungan, yaitu dengan cara memberlakukan biaya pemeliharaan dari barang yang digadaikan. Biaya itu dihitung dari nilai barang, bukan dari jumlah pinjaman. Sedangkan pada pegadaian konvesional, biaya yang harus dibayar sejumlah dari yang dipinjamkan.
           Variabel biaya pegadaian konvensional meliputi :
1.      Biaya administrasi yang ditetapkan sebesar 1% dari uang pinjaman.
2.      Biaya sewa Modal yang dihitung sebagai berikut :
a.       Pinjaman kurang dari Rp 20.000.000,- dengan masa pinjam setiap 15 hari sebesar 1,25%.
b.      Pinjaman lebih dari Rp 20.000.000,- dengan masa pinjam setiap 30 hari (1 bulan) sebesar 1%.
Variabel biaya pegadaian syariah meliputi :
Biaya administrasi yang ditetapkan sebagai berikut :
Rp 20.000,- sampai dengan Rp 150.000,-                  = Rp   1.000,-
Rp 155.000,- sampai dengan Rp 500.000,-                = Rp   3.000,-
Rp 505.000,- sampai dengan Rp 1.000.000,-             = Rp   5.000,-
Rp 1.050.000,- sampai dengan Rp 10.000.000,-        = Rp 15.000,-
Rp 10.050.000,- dan seterusnya                                 = Rp 25.000,-
Biaya jasa simpanan yang dihitung sebagai berikut :
Biaya Jasa Simpanan dihitung per 10 hari, dirumuskan dengan :
Nilai Barang    x Tarif
Rp 10.000,-

Tarif yang dikenakan adalah :
Emas                           = Rp 90,-
Barang Elektronik       = Rp 95,-
Motor                          = Rp 100,-

Jika kita bandingkan pembebanan variabel biaya-biaya tersebut, maka kita dapat perbedaan yang cukup signifikan. Misalnya barang jaminan berupa emas 22 karat seberat 60 gram dengan niai taksiran Rp 5.600.000,-. Perhitungannya adalah sebagai berikut :
Pegadaian Syariah
Pegadaian konvensional
Besar Pinjaman
90% x Rp 5,6 juta = Rp 5,04 juta
89% x Rp 5,6 juta = Rp 4,98 juta
Biaya Administrasi
Rp 15.000,-
1% x Rp 4,98 juta = Rp 49.800,-


Biaya
Per 10 hari :
Rp 5,6 juta x 90 = Rp 10.000,-
Rp 10.000,-
Per 15 hari :
1,25% x Rp 4,98 juta = Rp 62.250,-
Biaya selama 4 bulan :
Rp 50.400,- x 12 = Rp 604.800,-
Biaya selama 4 bulan :
1,25% x 8 x Rp 4,98 juta = Rp 498.000,-
Total Biaya
Rp 619.800,-
Rp 547.800,-
Sumber : Gadai Syariah, Abdul Ghofur Ansori, hal. 120.

Berikut disajikan tabel perbedaan teknis antara pegadaian syariah dan pegadaian konvensional :
No.
Pegadaian Syariah
Pegadaian Konvensional
1.
Biaya Administrasi menurut ketetapan berdasarkan golongan barang.
Biaya Administrasi menurut prosentase berdasarkan golongan barang.
2.
Jasa simpanan berdasarkan nilai taksiran.
Sewa modal berdasarkan pinjaman.
3.
Bila lama pengembalian melebihi perjanjian, barang dijual kepada masyarakat.
Bila lama pengembalian melebihi perjanjian, barang dilelang kepada masyarakat.
4.
Uang pinjaman 90% dari nilai taksiran.
Uang pinjaman golongan A: 90% dari taksiran, Golongan B, C, dan D : 86% – 88% dari nilai taksiran.
5.
Jasa simpanan dihitung dengan konstanta X taksiran.
Sewa modal dihitung berdasarkan prosentase X uang pinjaman.
6.
Maksimal jangka waktu 4 bulan.
Maksimal jangka waktu 3 bulan.
7.
Uang kelebihan = hasil penjualan – (uang pinjaman + jasa penitipan + biaya penjualan)
Uang kelebihan = hasil lelang – (uang pinjaman + sewa modal + biaya lelang).
8.
Bila uang kelebihan dalam satu tahun tidak diambil oleh pemilik barang, maka diserahkan kepada lembaga ZIS.
Bila uang kelebihan dalam satu tahun tidak diambil oleh pemilik barang, maka menjadi milik pegadaian.
Tabel 2.1
7.      Perbandingan Gadai Syariah (rahn) dengan Gadai konvensional
Secara prinsip, pegadaian konvensional berbeda dengan gadai syariah, berikut adalah tabelperbedaannya :
Perbandingan
Gadai dengan Rahn (Gadai Syari’ah)

INDIKATOR

RAHN (GADAI SYARI’AH)

GADAI KONVENSIONAL


Konsep
Dasar

Tolong Menolong (Jasa Pemeliharaan Barang Jaminan)

Profit Oriented (Bunga dari Pinjaman Pokok / Biaya Sewa Modal)

 Jenis
    Barang Jaminan

Barang Bergerak & Tidak Bergerak

Hanya Barang Bergerak


Beban

    Biaya Pemeliharaan

Bunga (dari pokok pinjaman)


Lembaga


Bisa Dilakukan Perseorangan

Hanya bisa dilakukan oleh lembaga (perum Pegadaian)


Perlakuan
Di jual (kelebihan dikembalikan kepada yang memiliki barang)

Di lelang
Dari tabel 2.2 di atas tertulis bahwa konsep dasar gadai syari'ah adalah tolong menolong. Pada dasarnya, ketika seseorang menggadaikan barang, sudah tentu dalam kondisi kesusahan. Karenanya, dalam mekanisme gadai syari'ah tidak membebankan bunga dari pinjaman. Dalam gadai dengan prinsip syari'ah, orang yang menggadaikan barangnya hanya diberikan kewajiban untuk memelihara barang yang dijadikan jaminan. Pemeliharaan barang jaminan, tentu merupakan kewajiban pemilik barang. Akan tetapi, untuk memudahkan maka pemeliharaan diserahkan kepada pihak pegadaian dengan konsekuensi ada biaya pemeliharaan sebagai pengganti kewajiban pemilik barang dalam pemeliharaan. Besar kecilnya biaya, tidak tergantung besar kecilnya dana yang dipinjam. Akan tetapi, dilihat dari nilai taksiran barang yang digadaikan. Berbeda halnya dengan pegadaian konvensional, dimana bunga ditarik dari besar kecilnya dana yang dipinjam. 
Dilihat dari segi barang jaminannya,
 
gadai syari'ah bisa berupa barang bergerak dan barang yang tidak bergerak. Sedangkan dalam pegadaian konvensional, hanya boleh menjaminkan barang bergerak saja. Pada pegadaian konvensional hanya melakukan satu akad perjanjian hutang piutang dengan jaminan barang bergerak yang jika ditinjau dari aspek hukum konvensional, keberadaan barang jaminan dalamgadai bersifat acessoir, sehingga Pegadaian Konvensional bisa tidak melakukan penahanan barang jaminan atau dengan kata lain melakukan praktik fidusia. Berbeda dengan pegadaian syariah yang mensyaratkan secara mutlak keberadaan barang jaminan untuk membenarkan penarikan bea jasa simpan. 
Dilihat dari sisi kelembagaan,
 
gadai syari'ah tidak terikat lembaga. Maksudnya, gadai syari'ah bisa dilakukan oleh siapapun, terlepas apakah pihak tersebut berupa lembaga atau bukan. Berbeda halnya dengan pegadaian konvensional, dimana gadai hanya bisa dilakukan kepada lembaga (perum pegadaian) sebagai mana diatur dalam KUHP pasal 1150.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar