Materi Ke-8
Prinsip-Prinsip
dan Kontrak Berbasis Gadai
1. Pegadaian
Konvensional
Pegadaian Konvensional (Umum)
adalah suatu hak yang diperbolehkan seseorang yang mempunyai piutang atas
suatu barang bergerak. Barang bergerak tersebut diserahkan kepada orang yang
berpiutang oleh seorang yang mempunyai utang atau oleh orang lain atas nama
orang yang mempunyai utang, seseorang yang berutang tersebut memberikan
kekuasaan kepada orang yang berpiutang untuk menggunakan barang bergerak yang
telah diserahkan untuk melunasi utang apabila pihak yang berutang tidak dapat
melunasi kewajibannya ada saat jatuh tempo.
Perusahaan umum Pegadaian adalah suatu badan usaha di Indonesia yang
secara resmi mempunyai izin untuk melaksanakan kegiatan lembaga keuangan
berupa pembiayaan dalam bentuk penyaluran dana ke masyarakat atas dasar hukum
gadai.
Secara umum pengertian usaha gadai adalah kegiatan menjaminkan
barang-barang berharga kepada pihak tertentu, guna memperoleh sejumlah uang dan
barang yang dijaminkan akan ditebus kembali sesuai dengan perjanjian antara
nasabah dengan lembaga gadai.
Dalam pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa usaha gadai memiliki
ciri-ciri sebagai berikut :
1. Terdapat barang-barang berharga yang digadaikan;
2. Nilai jumlah pinjaman tergantung nilai barang yang digadaikan;
3. Barang yang digadaikan dapat ditebus kembali.
2. Pengertian
Pegadaian Syariah (Rahn)
Gadai Syariah (rahn) adalah
menahan salah satu harta milik nasabah atau rahin sebagai barang jaminan atau
marhun atas hutang/pinjaman atau marhun bih yang diterimannya. Marhun tersebut
memiliki nilai ekonomis. Dengan demikian, pihak yang menahan atau penerima
gadai atau murtahin memperoleh jaminan untuk dapat mengambil kembali seluruh
atas sebagian piutangnya. Menurut A.A. Basyir, Rahn adalah perjanjian menahan sesuatu
barang sebagai tanggungan utang, atau menjadikan sesuatu benda bernilai menurut
pandangan syara’ sebagai tanggungan marhun bih, sehingga dengan adanya
tanggungan utang itu seluruh atau sebagian utang dapat diterima.
Menurut Imam Abu Zakaria Al Ansari,
rahn adalah menjadikan benda yang bersifat harta untuk kepercayaan dari suatu
marhun bih yang dapat dibayarkan dari harga benda marhun itu apabila marhun bih
tidak dibayar. Sedangkan Imam Taqiyyuddin Abu bakar Al Husain
mendefinisikan rahn sebagai akad/perjanjian utang-piutang dengan
menjadikan marhun sebagai kepercayaan/penguat marhun bih dan murtahin berhak
menjual/melelang barang yang digadaikan itu pada saat itu menuntut haknya. Barang yang dapat dijadikan jaminan utang adalah semua barang yang
dapat diperjualbelikan, artinya semua barang yang dapat dijual itu dapat
digadaikan.
Berdasarkan definisi di atas, disimpulkan bahwa rahn itu merupakan
suatu akad utang-piutang dengan menjadikan barang yang memiliki nilai harta
menurut pandangan syara’ sebagai jaminan marhun bih, sehingga rahin boleh
mengambil marhun bih.
Pinjaman dengan menggadaikan marhun
sebagai jaminan marhun bih dalam bentuk rahn itu dibolehkan, dengan ketentuan
bahwa murtahin, dalam hal ini Pegadaian Syariah, mempunyai hak menahan marhun
semua marhun bih dilunasi. Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik rahin,
yang pada prinsipnya tidak boleh dimanfaatkan murtahin, kecuali dengan seizin
rahin, tanpa mengurangi nilainya, serta sekedar sebagai pengganti biaya
pemeliraharaan dan perawatannya. Biaya pemeliharaan dan perawatan marhun adalah
kewajiban rahin, yang tidak boleh ditentukan berdasarkan jumlah marhun bih.
Apabila marhun bih telah jatuh tempo, maka murtahin memperingatkan rahin untuk
segera melunasi marhun bih, jika tidak melunasi marhun bih, maka marhun dijual
terpaksa melalui lelang sesuai syariah dan hasilnya digunakan untuk melunasi
marhun bih, biaya pemeliharaan dan penyimpanan marhun yang belum dibayar, serta
biaya pelanggan. Kelebihan hasil pelanggan menjadi milik rahin dan
kekurangannya menjadi kewajiban rahin.
2. Landasan Hukum Pegadaian Syariah
Pada dasarnya gadai menurut Islam, hukumnya adalah boleh (jaiz). Seperti yang tercantum, baik
dalam Al-Qur’an, Al Sunnah maupun Ijma’.
Pertama, dalil kebolehan
gadai, seperti yang tercantum dalam surat Al Qur’an Surat Al-Baqarah, ayat 283
yang berbunyi sebagai berikut:
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai), sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka
hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu
mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercaya itu menunaikan
amanatnya (utang) dan hendaklah ia bertakwa
kepada Allah SWT.
Kedua, dalil-dalil yang berasal dari hadist Nabi Saw, sebagai berikut:
“Nabi Saw pernah menggadaikan baju besinya kepada orang Yahudi untuk
ditukar dengan gandum. Lalu orang Yahudi itu berkata : Sungguh Muhammad ingin
membawa lari hartaku’, Rasulullah Saw, kemudian menjawab: Bohong! Sesungguhnya
aku orang yang jujur diatas bumi ini dan langit. Jika kamu berikan amanat
kepadaku, pasti Aku tunaikan. Pergilah dengan baju besiku menemuinya”.
Dalam hadist yang lain, dari Anas, katanya : “Rasulullah Saw. Telah
merungguhakan baju besi beliau kepada seorang Yahudi di Madinah , sewaktu
beliau menghutang syair (gandum)
dari orang Yahudi itu untuk keluarga beliau” (HR. Ahmad, Bukhari, Nasa’I dan Ibnu Majah).
Dari hadist di atas dapat dipahami bahwa agama Islam tidak
membeda-bedakan antara orang muslim dan non-muslim dalam bidang muamalah, maka seorang muslim tetap wajib membayar utangnya
sekalipun kepada non-muslim.
3. Teknik
Transaksi
Pegadaian syariah atau dikenal dengan
istilah rahn, dalam operasionalnya menggunakan metode Fee Based
Income (Biaya yang berdasarkan pendapatan). Sesuai dengan konsep rahn, pada dasarnya pegadaian syariah berjalan di atas
dua akad transaksi syariah, yaitu :
1. Akad
Rahn.
Rahn adalah menahan harta milik si peminjam sebagai jaminan atas
pinjaman yang diterimanya, pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk mengambil
kembali seluruh atau sebagian piutngnya. Dengan akad ini, pegadaian menahan
barang bergerak sebagai jaminan atas utang nasabah.
2. Akad
Ijarah.
Ijarah adalah akad pemindahan hak guna atas barang dan atau jasa
melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas
barangnya sendiri melelui akad ini dimungkinkan bagi pegadaian untuk menarik
sewa atas penyimpanan barang bergerak milik nasabah yang telah melakukan akad.
Melalui akad rahn,
nasabah menyerahkan barang bergerak dan kemudian pegadaian menyimpan dan
merawatnya ditempat yang telah disediakan. Akibat yang timbul dari proses
penyimpanan adalah timbulnya biaya-biaya yang meliputi nilai investasi tempat
penyimpanan, biaya perawatan dan kesuluruhan proses kegiatannya. Atas dasar ini
dibenarkan bagi pegadaian syariah mengenakan biaya sewa (ijarah) kepada nasabah sesuai jumlah yang disepakati oleh
kedua belah pihak.
4. Ketentuan Hukum Pegadaian Syari’ah
Dalam menjalankan pegadaian syari’ah, pegadaian harus memenuhi rukun
dan syarat gadai syari’ah.
Rukun rahn tersebut antara lain:
1. Pihak yang menggadaikan (rahin)
2. Pihak yang menerima gadai (murtahin)
3. Barang yang digadaikan (marhun)
4. Utang/pinjaman (marhun bih)
5. Sighat (ijab qabul)
Syarat Transaksi Gadai:
a. Orang
yang berakad.
Baik rahin maupun murtahin harus cakap dalam melakukan tindakan hukum,
baligh dan berakal sehat serta mampu melakukan akad.
b. Harta/barang
yang dijadikan jaminan (marhun).
Harus berupa harta yang dapat dijual dan nilainya seimbang dengan
marhun bih, marhun harus mempunyai nilai dan dapat dimanfaatkan, harus jelas
dan spesifik, marhun itu secara sah dimiliki oleh rahin dan merupakan harta
yang utuh, tidak bertebaran dalam beberapa tempat.
c. Utang
( Marhun
bih).
Marhun bih harus merupakan hak yang wajib dikembalikan kepada murtahin
merupakan barang yang dapat dimanfaatkan dan barang tersebut dapat dihitung
jumlahnya.
d. Shigat.
Shigat tidak boleh terikat dengan syarat tertentu dan dengan masa yang
akan datang.
Dari landasan Syariah tersebut maka mekanisme operasional Pegadaian
Syariah dapat digambarkan sebagai berikut: Melalui akad rahn, nasabah
menyerahkan barang bergerak dan kemudian Pegadaian menyimpan dan merawatnya di
tempat yang telah disediakan oleh Pegadaian.
Pegadaian Syariah akan memperoleh keuntungan hanya dari bea sewa
tempat yang dipungut bukan tambahan berupa bunga atau sewa modal yang
diperhitungkan dari uang pinjaman. Untuk dapat memperoleh layanan dari
Pegadaian Syariah, masyarakat hanya cukup menyerahkan harta geraknya (emas, berlian, kendaraan, dll.) untuk
dititipkan disertai dengan copy tanda pengenal. Kemudian staf Penaksir akan
menentukan nilai taksiran barang bergerak tersebut yang akan dijadikan sebagai
patokan perhitungan pengenaan sewa simpanan (jasa simpan) dan plafon uang
pinjaman yang dapat diberikan. Taksiran barang ditentukan berdasarkan nilai
intrinsik dan harga pasar yang telah ditetapkan oleh Perum Pegadaian. Maksimum
uang pinjaman yang dapat diberikan adalah sebesar 90% dari nilai taksiran
barang.
5. Aplikasi Akad Rahn
Sesuai dengan perkembangan dan
kemajuan ekonomi, rahn tidak hanya berlaku antar pribadi melainkan juga
antar pribadi dan lembaga keuangan seperti bank.
Kontrak rahn dipakai
dalam perbankan dalam dua hal berikut:
1.
Produk Pelengkap
Rahn dipakai
sebagai produk pelengkap artinya sebagai akad tambahan (jaminan atau collateral) terhadap produk lain
seperti dalam pembiayaan bai’al-murabahah. Bank dapat menahan barang sebagai konsekuensi akad tersebut.
2.
Produk Tersendiri
Akad rahn telah
dipakai sebagai alternatif dari pegadaian konvensioanal. Bedanya dengan gadai
biasa, dalam rahn nasabah tidak
dikenakan bunga tetapi yang dipungut dari nasabah adalah biaya penitipan,
pemeliharaan, penjagaan serta biaya penaksiran yang dipungut dan ditetapkan
diawal perjanjian. Sedangkan dalam perjanjian gadai biasa, nasabah dibebankan
juga bunga pinjaman yang dapat terakumulasi dan berlipat ganda.
Dasar aplikasi Rahn dalam Perbankan:
Gambar 2.1
Skema Akad Rahn
Marhun Bih
|
|||
(Pembiayaan)
|
|||
Murtahin
|
Rahin
|
||
(Bank)
|
(Nasabah)
|
||
Marhun
|
|||
(Jaminan)
|
Sumber: Burhanuddin Susanto (2008:279)
6. Perbedaan Rahn dengan Gadai (pricing dalam qardh)
Pegadaian syariah tidak menekankan
pada pemberian bunga dari barang yang digadaikan. Meski tanpa bunga, pegadaian
syariah tetap memperoleh keuntungan, yaitu dengan cara memberlakukan biaya
pemeliharaan dari barang yang digadaikan. Biaya itu dihitung dari nilai barang,
bukan dari jumlah pinjaman. Sedangkan pada pegadaian konvesional, biaya yang
harus dibayar sejumlah dari yang dipinjamkan.
Variabel biaya pegadaian konvensional meliputi :
1. Biaya
administrasi yang ditetapkan sebesar 1% dari uang pinjaman.
2. Biaya
sewa Modal yang dihitung sebagai berikut :
a. Pinjaman
kurang dari Rp 20.000.000,- dengan masa pinjam setiap 15 hari sebesar 1,25%.
b. Pinjaman
lebih dari Rp 20.000.000,- dengan masa pinjam setiap 30 hari (1 bulan) sebesar
1%.
Variabel biaya pegadaian syariah
meliputi :
Biaya administrasi yang ditetapkan
sebagai berikut :
Rp 20.000,- sampai dengan Rp
150.000,-
= Rp 1.000,-
Rp 155.000,- sampai dengan Rp
500.000,-
= Rp 3.000,-
Rp 505.000,- sampai dengan Rp
1.000.000,-
= Rp 5.000,-
Rp 1.050.000,- sampai dengan Rp
10.000.000,- = Rp 15.000,-
Rp 10.050.000,- dan
seterusnya
= Rp 25.000,-
Biaya jasa simpanan yang dihitung
sebagai berikut :
Biaya Jasa Simpanan dihitung per 10
hari, dirumuskan dengan :
Nilai Barang x Tarif
Rp 10.000,-
Tarif yang dikenakan adalah :
Emas
= Rp 90,-
Barang
Elektronik = Rp 95,-
Motor
= Rp 100,-
Jika kita bandingkan pembebanan
variabel biaya-biaya tersebut, maka kita dapat perbedaan yang cukup signifikan.
Misalnya barang jaminan berupa emas 22 karat seberat 60 gram dengan niai
taksiran Rp 5.600.000,-. Perhitungannya adalah sebagai berikut :
Pegadaian Syariah
|
Pegadaian konvensional
|
|
Besar Pinjaman
|
90% x Rp 5,6 juta = Rp 5,04 juta
|
89% x Rp 5,6 juta = Rp 4,98 juta
|
Biaya Administrasi
|
Rp 15.000,-
|
1% x Rp 4,98 juta = Rp 49.800,-
|
Biaya
|
Per 10 hari :
Rp 5,6 juta x 90 = Rp
10.000,-
Rp 10.000,-
|
Per 15 hari :
1,25% x Rp 4,98 juta = Rp 62.250,-
|
Biaya selama 4 bulan :
Rp 50.400,- x 12 = Rp 604.800,-
|
Biaya selama 4 bulan :
1,25% x 8 x Rp 4,98 juta = Rp
498.000,-
|
|
Total Biaya
|
Rp 619.800,-
|
Rp 547.800,-
|
Sumber :
Gadai Syariah, Abdul Ghofur Ansori, hal. 120.
Berikut disajikan tabel perbedaan
teknis antara pegadaian syariah dan pegadaian konvensional :
No.
|
Pegadaian Syariah
|
Pegadaian Konvensional
|
1.
|
Biaya Administrasi menurut ketetapan
berdasarkan golongan barang.
|
Biaya Administrasi menurut
prosentase berdasarkan golongan barang.
|
2.
|
Jasa simpanan berdasarkan nilai
taksiran.
|
Sewa modal berdasarkan pinjaman.
|
3.
|
Bila lama pengembalian melebihi
perjanjian, barang dijual kepada masyarakat.
|
Bila lama pengembalian melebihi
perjanjian, barang dilelang kepada masyarakat.
|
4.
|
Uang pinjaman 90% dari nilai
taksiran.
|
Uang pinjaman golongan A: 90% dari
taksiran, Golongan B, C, dan D : 86% – 88% dari nilai taksiran.
|
5.
|
Jasa simpanan dihitung dengan konstanta
X taksiran.
|
Sewa modal dihitung berdasarkan
prosentase X uang pinjaman.
|
6.
|
Maksimal jangka waktu 4 bulan.
|
Maksimal jangka waktu 3 bulan.
|
7.
|
Uang kelebihan = hasil penjualan –
(uang pinjaman + jasa penitipan + biaya penjualan)
|
Uang kelebihan = hasil lelang –
(uang pinjaman + sewa modal + biaya lelang).
|
8.
|
Bila uang kelebihan dalam satu tahun
tidak diambil oleh pemilik barang, maka diserahkan kepada lembaga ZIS.
|
Bila uang kelebihan dalam satu tahun
tidak diambil oleh pemilik barang, maka menjadi milik pegadaian.
|
Tabel 2.1
7. Perbandingan Gadai Syariah (rahn) dengan Gadai konvensional
Secara prinsip, pegadaian konvensional berbeda dengan gadai syariah,
berikut adalah tabelperbedaannya :
Perbandingan
Gadai dengan Rahn (Gadai Syari’ah) |
||
INDIKATOR
|
RAHN (GADAI
SYARI’AH)
|
GADAI KONVENSIONAL
|
Konsep
Dasar |
Tolong Menolong (Jasa
Pemeliharaan Barang Jaminan)
|
Profit Oriented (Bunga
dari Pinjaman Pokok / Biaya Sewa Modal)
|
Jenis
Barang Jaminan |
Barang Bergerak & Tidak Bergerak
|
Hanya Barang Bergerak
|
Beban
|
Biaya Pemeliharaan
|
Bunga (dari
pokok pinjaman)
|
Lembaga
|
Bisa Dilakukan Perseorangan
|
Hanya bisa dilakukan oleh lembaga (perum Pegadaian)
|
Perlakuan
|
Di jual (kelebihan
dikembalikan kepada yang memiliki barang)
|
Di lelang
|
Dari tabel 2.2 di atas tertulis bahwa konsep dasar gadai syari'ah adalah tolong menolong.
Pada dasarnya, ketika seseorang menggadaikan barang, sudah tentu dalam kondisi
kesusahan. Karenanya, dalam mekanisme gadai syari'ah tidak membebankan bunga
dari pinjaman. Dalam gadai dengan prinsip syari'ah, orang yang
menggadaikan barangnya hanya diberikan kewajiban untuk memelihara barang yang
dijadikan jaminan. Pemeliharaan barang jaminan, tentu merupakan kewajiban
pemilik barang. Akan tetapi, untuk memudahkan maka pemeliharaan diserahkan
kepada pihak pegadaian dengan konsekuensi ada biaya pemeliharaan
sebagai pengganti kewajiban pemilik barang dalam pemeliharaan. Besar kecilnya
biaya, tidak tergantung besar kecilnya dana yang dipinjam. Akan tetapi, dilihat
dari nilai taksiran barang yang digadaikan. Berbeda halnya dengan pegadaian konvensional, dimana bunga ditarik dari besar kecilnya dana
yang dipinjam.
Dilihat dari segi barang jaminannya, gadai syari'ah bisa berupa barang bergerak dan barang yang tidak bergerak. Sedangkan dalam pegadaian konvensional, hanya boleh menjaminkan barang bergerak saja. Pada pegadaian konvensional hanya melakukan satu akad perjanjian hutang piutang dengan jaminan barang bergerak yang jika ditinjau dari aspek hukum konvensional, keberadaan barang jaminan dalamgadai bersifat acessoir, sehingga Pegadaian Konvensional bisa tidak melakukan penahanan barang jaminan atau dengan kata lain melakukan praktik fidusia. Berbeda dengan pegadaian syariah yang mensyaratkan secara mutlak keberadaan barang jaminan untuk membenarkan penarikan bea jasa simpan.
Dilihat dari sisi kelembagaan, gadai syari'ah tidak terikat lembaga. Maksudnya, gadai syari'ah bisa dilakukan oleh siapapun, terlepas apakah pihak tersebut berupa lembaga atau bukan. Berbeda halnya dengan pegadaian konvensional, dimana gadai hanya bisa dilakukan kepada lembaga (perum pegadaian) sebagai mana diatur dalam KUHP pasal 1150.
Dilihat dari segi barang jaminannya, gadai syari'ah bisa berupa barang bergerak dan barang yang tidak bergerak. Sedangkan dalam pegadaian konvensional, hanya boleh menjaminkan barang bergerak saja. Pada pegadaian konvensional hanya melakukan satu akad perjanjian hutang piutang dengan jaminan barang bergerak yang jika ditinjau dari aspek hukum konvensional, keberadaan barang jaminan dalamgadai bersifat acessoir, sehingga Pegadaian Konvensional bisa tidak melakukan penahanan barang jaminan atau dengan kata lain melakukan praktik fidusia. Berbeda dengan pegadaian syariah yang mensyaratkan secara mutlak keberadaan barang jaminan untuk membenarkan penarikan bea jasa simpan.
Dilihat dari sisi kelembagaan, gadai syari'ah tidak terikat lembaga. Maksudnya, gadai syari'ah bisa dilakukan oleh siapapun, terlepas apakah pihak tersebut berupa lembaga atau bukan. Berbeda halnya dengan pegadaian konvensional, dimana gadai hanya bisa dilakukan kepada lembaga (perum pegadaian) sebagai mana diatur dalam KUHP pasal 1150.